
Namun dalam Penyambung Lidah Rakyat
(Cindy Adams) ia bercerita mengenai pertemuan itu terjadi di Bandung
selatan yang daerah persawahannya terhampar luas. Ia menemui seorang
petani yang menggarap sawahnya dan menanyakan kepemilikan dan hasil dari
sawah itu. Yang ia temukan adalah bahwa walaupun sawah, bajak, cangkul
adalah kepunyaan sendiri dan ia mengejakannya sendiri hasil yang didapat
tidak pernah mencukupi untuk istri dan keempat anaknya. Petani itu
bernama Marhaen.
Diluar segala kontroversi yang berkembang mengenai marhaenisme, ada baiknya kita menengok ideologi ini dari kacamata sang pencetusnya, Bung Karno. Berikut adalah Tulisan Bung Karno tentang ideologi marhaen itu sendiri yang berjudul Matahari Marhaenisme
MATAHARI MARHAENISME
Apakah Marhaenisme itu?
Sebagian orang mengira bahwa kaum Marhaen ialah kaum proletar. Itu tidak benar. Sebab, apakah yang dinamakan “proletar” itu? Di dalam kamus Politik F.R. (Fikiran Ra'jat-ed) nomor percontohan istilah ini telah kita jelaskan dengan singkat. Proletar ialah orang yang dengan menjual tenaganya “membuat” sesuatu “barang” untuk orang lain (majikannya), sedang ia tidak ikut memiliki alat-alat pembuatan “barang” itu. Ia tidak ikut memiliki produktie-middlen.
Sebagian orang mengira bahwa kaum Marhaen ialah kaum proletar. Itu tidak benar. Sebab, apakah yang dinamakan “proletar” itu? Di dalam kamus Politik F.R. (Fikiran Ra'jat-ed) nomor percontohan istilah ini telah kita jelaskan dengan singkat. Proletar ialah orang yang dengan menjual tenaganya “membuat” sesuatu “barang” untuk orang lain (majikannya), sedang ia tidak ikut memiliki alat-alat pembuatan “barang” itu. Ia tidak ikut memiliki produktie-middlen.
Seorang letterzetter adalah seorang
proletar, karena ia menjual tenaganya, sedang letter-letter yang ia zet
itu bukan miliknya. Seorang masinis adalah seorang proletar, karena ia
menjual tenaganya, sedang lokomotif yang ia jalankan bukan miliknya.
Seorang insinyur yang masuk kerja pada orang lain adalah juga seorang
proletar, karena ia menjual tenaganya, sedang kantor atau besi-besi atau
semen yang ia usahakan itu bukan miliknya. Insinyur ini biasanya
disebutkan “proletar intelektual”.
Dus terang sekali, bahwa istilah proletar itu—buat gampangnya uraian kita—berarti “kaum buruh”. Di Eropa sudah selayaknya ada proletarisme, itu faham yang memihak kaum proletar. Sebab di semua kota-kota ada banyak perusahaan-perusahaan dan pabrik-pabrik, yang beribu-ribu kaum buruhnya. Kota-kota itu penuh dengan puluhan, ratusan kaum proletar. Juga di luar kota-kota di Eropa banyak kaum proletar. Di bidang pertanian di Eopa sudah sejak lama timbul landbouw-kapitalisme, yakni kapitalisme pertanian. Banyak sekali “kaum buruh tani” yang bekerja pada kapitalisme pertanian itu.
Bagaimanakah keadaan di sini. Di kota-kota sudah banyak kaum proletar. Di lapangan pertanian sudah ada kaum proletar, misalnya yang bekerja pada pabrik gula, pabrik teh, atau pada beberapa bangsa sendiri yang menjadi tani-besar. Tetapi jutaan kaum tani, walaupun kemelaratannya melewati batas, bukan kaum proletar, yakni bercocoktanam sendiri. Memang faham proletar, sebagaimana dijelaskan dalam kamus Politik nomor percontohan, tidak tergantung pada kemelaratannya atau kemampuan. Jutaan kaum tani masih “merdeka”. Mereka bukan kaum buruh, karena memang tidak berburuh pada siapa pun.
Sehingga, jika kita memakai faham proletarisme, faham itu tidak mengenai semua kaum yang tertindas. Karena itu kita membuat istilah baru: istilah Marhaen. Marhaen adalah istilah politik. Ia meliputi semua kaum yang melarat di Indonesia: baik yang proletar maupun yang bukan proletar, yakni yang buruh maupun yang bukan buruh. Kaum tani melarat yang masih “merdeka” itu, juga termasuk dalam istilah ini.
Dus terang sekali, bahwa istilah proletar itu—buat gampangnya uraian kita—berarti “kaum buruh”. Di Eropa sudah selayaknya ada proletarisme, itu faham yang memihak kaum proletar. Sebab di semua kota-kota ada banyak perusahaan-perusahaan dan pabrik-pabrik, yang beribu-ribu kaum buruhnya. Kota-kota itu penuh dengan puluhan, ratusan kaum proletar. Juga di luar kota-kota di Eropa banyak kaum proletar. Di bidang pertanian di Eopa sudah sejak lama timbul landbouw-kapitalisme, yakni kapitalisme pertanian. Banyak sekali “kaum buruh tani” yang bekerja pada kapitalisme pertanian itu.
Bagaimanakah keadaan di sini. Di kota-kota sudah banyak kaum proletar. Di lapangan pertanian sudah ada kaum proletar, misalnya yang bekerja pada pabrik gula, pabrik teh, atau pada beberapa bangsa sendiri yang menjadi tani-besar. Tetapi jutaan kaum tani, walaupun kemelaratannya melewati batas, bukan kaum proletar, yakni bercocoktanam sendiri. Memang faham proletar, sebagaimana dijelaskan dalam kamus Politik nomor percontohan, tidak tergantung pada kemelaratannya atau kemampuan. Jutaan kaum tani masih “merdeka”. Mereka bukan kaum buruh, karena memang tidak berburuh pada siapa pun.
Sehingga, jika kita memakai faham proletarisme, faham itu tidak mengenai semua kaum yang tertindas. Karena itu kita membuat istilah baru: istilah Marhaen. Marhaen adalah istilah politik. Ia meliputi semua kaum yang melarat di Indonesia: baik yang proletar maupun yang bukan proletar, yakni yang buruh maupun yang bukan buruh. Kaum tani melarat yang masih “merdeka” itu, juga termasuk dalam istilah ini.
Sekarang, apakah arti istilah Marhaenisme? Marhaenisme berarti:
faham nasionalisme Indonesia yang memihak kepada Marhaen. Siapa saja
nasionalis Indonesia yang berpihak pada Marhaen, adalah seorang
Marhaenis. Baik orang Marhaen sendiri maupun intelektual, yang memihak
pada Marhaen adalah Marhaenis. Misalnya kaum Marhaen yang masuk Sarekat
Hedjo, yang oleh karenanya memihak pada kaum sana (penjajah Belanda-ed),
adalah bukan Marhaenis. Kewajiban kita membuat mereka menjadi kaum
Marhaenis.
Yang menjadi cap Marhaenis ialah fahamnya, sikap pendiriannya, asasnya. Bukan harus sengaja memakai pakaian yang koyak-koyak jika bisa memakai pakaian yang pantas, atau sengaja memakai sepatu yang jebol jika memiliki sepatu yang baru, atau sengaja memakan daun pisang jika memiliki pisang—tetapi fahamnya, sikap pendiriannya, asasnya yang menjadi ukuran. Sebab, sekali lagi: pakaian yang koyak-koyak belum tentu menutupi jiwa yang Marhaenis. Lid Sarekat Hedjo pun banyak yang pakaiannya koyak-koyak.
Sekarang faham dan asas Marhaenisme itu makin menjalar: matahari Marhaenisme makin menyingsing. Hiduplah Marhaenisme!
Lain kali kita kupas lebih jauh faham Marhaenisme ini; dan kita akan bandingkan juga Marhaenisme dengan Radikalisme.
Sumber
Fikiran Ra’jat, 1 Juli 1932 Nomor 1, hal. 2—3.
Diperoleh dari "http://id.wikisource.org/wiki/Tulisan_Soekarno:_Matahari_Marhaenisme"
No comments:
Post a Comment